Minggu, 10 Agustus 2025

Panggilan dari Lantai Bawah part II

 

Aku membeku di tempat, hanya suara napas berat itu yang terdengar dari kegelapan tangga.
Aku ingin percaya itu hanya halusinasiku, tapi derap langkah berat mulai terdengar — duk… duk… duk — seperti seseorang sedang menuruni tangga dengan perlahan.

Tanpa sadar, aku berbisik ke telepon itu, “Siapa di sana?”

Suara serak itu menjawab, lebih pelan lagi,
"Itu bukan manusia… jangan sampai dia melihatmu."

Aku menjatuhkan gagang telepon. Kabelnya terayun, memukul sisi lemari, tapi entah kenapa suara di gagang masih terdengar samar-samar memanggil namaku.
Aku merunduk di balik sofa, memandangi arah tangga.

Dari gelap, muncullah sosok tinggi, kurus, tubuhnya membungkuk seperti tulang punggungnya patah. Kulitnya pucat kehijauan, dan kepalanya miring ke samping dengan rahang terkulai.
Dia menoleh perlahan, dan meskipun matanya kosong, aku merasa tatapannya menusuk tepat ke tempatku bersembunyi.

Lalu… dia tersenyum.
Bibirnya robek hingga ke telinga, dan dari mulutnya keluar suara dering telepon yang sama.
"Tuuut… tuuut…"

Sebelum aku bisa bergerak, lampu ruang tamu padam.
Dan di telingaku — entah bagaimana — terdengar jelas suara yang sama dari tadi:
"Sekarang… giliranmu yang ke atas."

Panggilan dari Lantai Bawah

 

Aku tinggal di sebuah rumah kontrakan tua, dua lantai, di pinggiran kota. Pemiliknya bilang, rumah itu sudah lama kosong sebelum aku sewa. Meskipun begitu, harganya murah sekali, jadi aku tidak peduli dengan alasan kenapa rumah ini kosong bertahun-tahun.

Di hari keempat, saat tengah malam, aku terbangun karena suara… telepon rumah.
Yang aneh, aku tidak pernah punya telepon rumah.
Suara dering itu berasal dari lantai bawah, samar, seolah dari ruang tamu.

Awalnya kupikir itu suara dari tetangga atau dari TV yang lupa kumatikan. Tapi ketika aku turun untuk memastikan, semua lampu mati… dan TV tidak menyala.
Namun dering itu tetap terdengar — kini dari sudut ruangan, di mana ada lemari tua peninggalan pemilik sebelumnya.

Aku mendekat, dan dering berhenti.
Hening.

Ketika aku membuka lemari itu… di dalamnya ada telepon putar kuno, hitam, berlapis debu. Kabelnya terputus. Tidak mungkin bisa berfungsi.
Aku tertawa gugup, menutup pintu lemari, lalu kembali ke atas.

Keesokan malamnya, dering itu terdengar lagi. Kali ini, aku memberanikan diri mengangkat gagangnya.
Suara serak dari seberang berkata pelan:
"Jangan naik… dia ada di atas tangga."

Aku langsung memandang ke arah tangga.
Kosong. Tapi tiba-tiba, lampu di tangga padam satu per satu…
Dan di tengah gelap, terdengar suara napas berat… semakin dekat…

Jangan Lihat ke Cermin

 

Aku selalu tidur dengan pintu kamar terbuka sedikit. Bukan karena takut gelap, tapi karena aku suka mendengar suara TV dari ruang tamu sebagai pengantar tidur.
Suatu malam, aku terbangun karena suara “klik” seperti saklar lampu yang dipencet. Anehnya, lampu kamarku mati. Aku masih mengantuk, jadi aku memutuskan untuk memeriksanya besok pagi saja.

Saat membalikkan badan untuk tidur lagi, mataku tertuju pada cermin besar di sudut ruangan—cermin yang aku letakkan di pojok karena jarang dipakai. Dari pantulan remang-remang, aku melihat sosok seperti diriku… tapi wajahnya tidak bergerak sama sekali, padahal aku sedang berkedip.

Aku menelan ludah dan memalingkan wajah, mencoba meyakinkan diri kalau itu cuma halusinasi setengah sadar. Tapi kemudian terdengar suara pelan dari arah cermin:
"Kenapa kamu membelakangiku?"

Suara itu persis suaraku, hanya saja terdengar lebih berat dan bergetar. Dengan jantung berdegup, aku memberanikan diri melirik lagi. Sosok di cermin kini berdiri lebih dekat, hampir menempel pada permukaan kaca, tersenyum lebar.

Aku langsung menutup mata rapat-rapat. Tak lama, aku mendengar langkah kaki pelan di lantai kamarku—tapi arah suaranya bukan dari cermin… melainkan dari belakangku.

Boneka di Lemari

 

Sejak pindah ke rumah kontrakan ini, aku selalu merasa ada yang mengawasi dari sudut ruangan. Rumahnya memang tua, tapi murah, jadi aku menahan rasa takut.

Suatu malam listrik padam. Saat menyalakan lilin, aku melihat pintu lemari di kamar sedikit terbuka. Dari celahnya, sesuatu seperti kepala boneka terlihat, matanya mengarah tepat padaku. Aku tersenyum kecut, berpikir itu milik penyewa lama.

Keesokan harinya, aku buka lemari untuk memindahkannya. Tapi saat kutarik bonekanya… tubuhnya dingin dan berat, seperti daging. Wajahnya bukan terbuat dari kain, melainkan kulit pucat yang kering, dengan gigi kecil di balik bibir yang sedikit terbuka.

Aku terlonjak, melemparnya ke lantai. Tapi boneka itu perlahan memutar kepalanya ke arahku, tersenyum lebar, lalu berbisik, “Akhirnya kita bisa main…”

Sejak itu, pintu lemariku selalu terbuka setiap aku bangun tidur, dan boneka itu semakin dekat ke tempat tidurku setiap malam.

Sabtu, 09 Agustus 2025

Pintu ketiga

Aku pindah ke rumah kontrakan tua di pinggir desa karena harga sewanya murah. Rumah itu punya dua kamar tidur, satu ruang tamu, dan satu dapur. Pemiliknya bilang tidak ada yang pernah tinggal di sini lebih dari enam bulan. Aku pikir karena kondisinya agak lembab dan berdebu.

Malam pertama berjalan biasa saja, sampai aku bangun sekitar pukul 3 pagi karena mendengar suara pintu berderit dari arah dapur. Saat aku keluar dari kamar, aku perhatikan sesuatu yang aneh — ada satu pintu di ujung lorong yang aku yakin tidak ada kemarin.

Pintu itu terbuat dari kayu tua, catnya mengelupas, dan tidak ada gagang pintu. Anehnya, dari celah bawahnya keluar cahaya redup berwarna kekuningan.

Penasaran, aku mencoba mengintip melalui celah kayu, tapi yang terlihat hanya lorong gelap yang terus memanjang… dan suara langkah kaki yang perlahan mendekat.

Jantungku berdegup keras. Aku mundur, tapi suara langkah itu semakin cepat, semakin keras, sampai… sesuatu menendang pintu dari dalam.

Aku terjatuh, dan saat membuka mata lagi, pintu itu sudah hilang. Hanya dinding kosong.

Malam-malam berikutnya, pintu itu selalu muncul lagi… tapi setiap kali aku mengintip, jarak langkah kaki itu semakin dekat.

Aku tidak yakin berapa lama lagi aku bisa bertahan sebelum “sesuatu” di balik pintu itu berhasil keluar.

Pesan dari Kamar 6


 

Aku kerja sebagai petugas malam di sebuah penginapan kecil di pinggiran kota. Bangunan ini sudah tua, dan katanya pernah jadi rumah sakit di tahun 60-an. Kebanyakan tamu cuma singgah semalam sebelum melanjutkan perjalanan.

Suatu malam, sekitar jam 2 pagi, telepon di meja resepsionis berdering.
"…Tolong… dari kamar 6…" suara perempuan berbisik lirih.

Aku langsung mengecek daftar tamu — aneh, kamar 6 kosong sejak seminggu lalu. Penasaran, aku bawa kunci cadangan dan naik ke lantai dua.

Lorongnya dingin dan bau obat antiseptik yang menyengat. Lampu di depan kamar 6 berkedip-kedip. Saat kunci berputar dan pintu terbuka, ruangan itu gelap total.

Tiba-tiba, telepon di meja kamar berdering keras. Aku hampir menjatuhkannya saat mengangkat gagang.

"Hati-hati… dia berdiri di belakangmu," bisik suara yang sama.

Darahku membeku. Aku menoleh perlahan… dan tepat di ujung lorong, ada siluet perempuan dengan gaun rumah sakit, kepala terkulai ke samping, menatapku.

Saat aku berkedip, dia sudah tepat di depanku.

Lalu semuanya gelap.