Aku membeku di tempat, hanya suara napas berat itu yang terdengar dari kegelapan tangga.
Aku ingin percaya itu hanya halusinasiku, tapi derap langkah berat mulai terdengar — duk… duk… duk — seperti seseorang sedang menuruni tangga dengan perlahan.
Tanpa sadar, aku berbisik ke telepon itu, “Siapa di sana?”
Suara serak itu menjawab, lebih pelan lagi,
"Itu bukan manusia… jangan sampai dia melihatmu."
Aku menjatuhkan gagang telepon. Kabelnya terayun, memukul sisi lemari, tapi entah kenapa suara di gagang masih terdengar samar-samar memanggil namaku.
Aku merunduk di balik sofa, memandangi arah tangga.
Dari gelap, muncullah sosok tinggi, kurus, tubuhnya membungkuk seperti tulang punggungnya patah. Kulitnya pucat kehijauan, dan kepalanya miring ke samping dengan rahang terkulai.
Dia menoleh perlahan, dan meskipun matanya kosong, aku merasa tatapannya menusuk tepat ke tempatku bersembunyi.
Lalu… dia tersenyum.
Bibirnya robek hingga ke telinga, dan dari mulutnya keluar suara dering telepon yang sama.
"Tuuut… tuuut…"
Sebelum aku bisa bergerak, lampu ruang tamu padam.
Dan di telingaku — entah bagaimana — terdengar jelas suara yang sama dari tadi:
"Sekarang… giliranmu yang ke atas."