Jumat, 05 Juni 2015

Diantara Pepohonan Part 1


Marnie berjalan masuk ke hutan dan tak pernah kembali. Kami menunggunya. Bisa saja kami segera pergi tepat setelah dia menghilang diantara pepohonan, tapi dia terlihat begitu yakin sehingga membuat kami tetap menunggu. Tak seorangpun mengatakanya tapi setelah dua jam berlalu kami pun tahu bahwa ini benar benar terjadi. Tentu saja kami merasa bersalah pada marnie tetapi jikalau aku bisa mengatakan satu kata terakhir untuknya, maka itu bukanlah "berhenti". Melainkan "terimakasih". Karena dia yang pergi dan bukan aku. Jadi jika aku merasakan suatu perasaan terhadap marnie, maka itu adalah rasa syukur, bukan kasihan. Lagi pula pada akhirnya dia juga yang harus pergi. Dialah yang menemukannya.

Kapel kecil dari batu yang berdiri di tengah tanah lapang, di lingkari oleh barisan pepohonan. Marnie yang pertama melihatnya dan langsung menerjang rerumputan, lalu mengajak kami mengikutinya. Bagaimana bisa kami tak pernah melihat kapel itu sebelumnya? Mungkin kapel itu memang tak ingin untuk ditemukan. Terletak di tempat paling jauh dari yang pernah kami jelajahi, terasa seperti berada tepat di jantung hutan. Udaranya dingin. Lebih dari itu, terasa aura kematian. Tak ada yang bergerak atau bersuara. Aku tahu tempat itu seharusnya tak boleh ditemukan. Tidak oleh mata manusia. Terlalu keramat. Terdapat beberapa baris bangku panjang dan sebuah altar batu Yang menjulang. Itulah.
Dan disana masih ada yang lain. Mereka yang hidup di tempat itu yang lebih nyata daripada apa yang terlihat. Aku ingin pergi tapi marnie berpikir bahwa tempat ini lucu. " ngapain juga mereka membangun kapel di tempat seperti ini?" katanya.

Kami seharusnya tak melakukannya. Tentu saja itu idenya marnie. "ayo lakukan ritual pengorbanan untuk menyenangkan para dewa", dia terkekeh. Elizabeth juga tertawa. Marnie berkhotbah asal asalan di altar dan kami duduk di bangku batu di sekitarnya sambil menundukkan kepala kami. Saat itu sungguh terasa konyol dan mungkin semuanya akan lebih baik jika kami menghentikanya tapi marnie bersikeras.
"kita butuh tumbal", kata marnie. Yang lainya pergi mencari cari tapi aku tetap duduk. Harusnya aku pergi saja, tapi ada sesuatu yang aneh tentang tempat itu. Aku merasa terhubung dengan tempat tersebut. Terasa menenangkan. Marnie kembali, sambil tersenyum, menggenggam seekor kadal kecil. Dia menjinjing kadal itu dihadapanya, menggumamkan nada puji pujian aneh. Marnie naik ke altar, mencengkeram kadal dengan satu tangan. Elizabeth memberinya sebuah batu. Elizabeth terlìhat agak ragu saat itu. Marie memegang batu itu dengan tangannya yang lain, mengangkatnya tinggi tinggi diatas kepalanya. "dewa dewa mulia yang menjaga hutan ini," teriaknya dengan lantang, "terimalah persembahan tulus ini sebagai pertukaran atas keabadian yang kau berikan". Lalu di hunjamkan batunya ke bawah. Beberapa dari kami terkejut. Aku pikir tak seorangpun dari kami yang menyangka dia sungguh sungguh melakukanya. Noda darah yang hitam terciprat di altar. Angin dingin berhembus menyapu tanah lapang. Saat itulah aku sadar bahwa kami telah membangunkan mereka. Yang lainpun pasti juga merasakanya karena semuanya ingin segera pergi dari sana, bahkan marnie.

Marnie menunggu seminggu penuh sebelum dia meminta kami untuk kembali ke tempat itu bersamanya. Dia mengatakanya seakan akan itu guyonan tapi aku tahu dia sudah termakan oleh pemikiran itu. Matanya, kehilangan cahayanya. Kami pergi bersamanya sampai ke pinggir hutan. Dan kami semua melangkah mundur. Dia menertawai kami, mengejek kami penakut. Kami memang takut tapi kami tidak bodoh. Marnie berusaha membujuk kami, tapi akhirnya dia menyerah. Marnie memutuskan pergi sendirian. Dan kami membiarkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar