Senin, 08 Juni 2015

That Killer is Me


Jika ada hal yang paling aku takuti di dunia ini, adalah ketika Mom membawaku mengunjungi museum Oakstand yang ada di kota. Sebenarnya tidak ada yang spesial dari tempat ini, kecuali sebuah pisau klasik yang dipajang di sebuah lemari kaca. Konon, pisau belati itu telah memakan lebih dari seratus jiwa tak berdosa yang dibunuh secara keji oleh Sir Nathan Asgrard.

Hari ini Mom membawaku ke sana. Aku bergidik ketika Mom mengucapkan nama museum Okstand. Tapi sebagai anak yang baik aku tidak pernah membantah apa yang diperintahkan Mom. Siang itu aku berada di kamarku, suara Lilly, adikku yang masih berumur 5 tahun memenuhi seluruh rumah.

"Jane, cepat! Dad sudah menunggu kita," seru Mom dari lantai bawah.

Aku segera bergegas, meraih kemeja biru kotak-kotak dari gantungan di lemari dan membiarkan rambut pirangku terurai. Ketika aku turun, Dad membunyikan klakson dan kami segera bergegas.

Lilly sangat ceria di dalam mobil, tai tidak dengan aku. Bayangan pisau belati yang berdiri di lemari kaca membuatku kembali bergidik. Kebanyakan aku melihat keluar, tapi jika kau tanya apa yang sedang kulihat, mungkin jawaban satu-satunya yang bisa kuberikan adalah aku tidak tahu.

Dalam beberapa menit saja kami sudah sampai di tempat tersebut. Museum itu cukup besar, dengan bangunan mirip bangunan-bangunan romawi. Temboknya berwarna abu-abu dengan pilar-pilar kokoh di depannya. Ada tangga lebar yang menuju tempat tersebut.

Museum cukup ramai hari ini, tapi mungkin juga karena memang ini hari libur. Mom mengajakku melihat-lihat lukisan, sedangkan Dad dan Lilly menghilang entah kemana.

"Bagaimana menurutmu lukisan ini, Jane?" tanya Mom.

Aku memperhatikan lukisan sebuah vila di seberang danau yang dilukis menggunakan cat minyak tersebut. "Indah," gumamku. "Dilukis dengan sangat detail dan tanpa cela."

Mom melirik sekilas dan tampaknya puas dengan komentarku. Kemudian dia mengajakku melihat-lihat lukisan yang lainnya. Tepat saat kami berjalan, aku melihatnya, dan seakan benda itu menghipnotisku. Di depanku, di sebuah lemari kaca kecil yang menempel di dinding, berdiri sebuah pisau belati tanpa sarung. Pisau itu memiliki gagang berwarna hitam, dengan mata pisau yang tajam dan bersih. Entah kenapa aku tak bisa berhenti memandanginya, seolah-olah pikiranku bersama pisau tersebut. Ada suara dalam hatiku yang berkata, "Bunuh mereka, bunuh mereka, bunuh mereka..." Dan sebuah keinginan paling keji yang tak pernah terpikirkan olehku sekan tumbuh di dalam benakku: keinginan untuk membunuh. Ruangan itu tiba-tiba terasa sunyi, seperti hanya aku dan pisau tersebut yang ada di dalamnya. Kebisingan memudar menjadi kehampaan tak berujung, dimana kesunyian mencekik jiwa-jiwa yang hilang.

"Jane!"

Suara Mom menyentak kesadaranku, dan kebisingan museum kembali membungkusku. Dengan agak tergopoh-gopoh dan linglung, aku menghampiri Mom.

"Sedang apa kau, Sayang. Mom memanggilmu berulang kali tapi kau tak bergeming," ujar Mom lembut.
Aku mengerang. "Hanya sedang melamun."

Malamnya aku benar-benar dihantui mimpi buruk. Dalam mimpi tersebut, aku menyelinap ke museum Oakstand dan mencuri pisau belati tersebut. Aku membunuh satpam yang sedang bertugas dan menggorok leher mereka dengan benda kecil tersebut. Alhasil, aku terbangun di tengah malam dengan keringat bercucuran.
Paginya, stasiun TV lokal memberitakan bahwa ada pencurian di museum Oakstand dan menewaskan 2 orang satpam yang sedang berjaga malam. Anehnya, satu-satunya benda yang dicuri hanyalah pisau milik Sir Nathan Asgrard. Aku mengernyit ketika mendengar bahwa benda itu satu-satunya benda yang dicuri.

"Bukankah itu benda yang kau lihat kemarin, Sayang?" celetuk Mom.

Aku mengangguk. "Ya."

Aku sama sekali tak bisa fokus di sekolah. Bayangan benda kecil itu menghantuiku sepanjang hari. Kekhawatiran tanpa alasan mendekam di hatiku dan membuat moodku turun.

Malam berikutnya, mimpiku lebih parah. Pisau itu kini ada di tanganku. Mataku tampak kelaparan dengan darah dan penderitaan. Aku melihat wajahku di cermin, dan pisau ada di tangan kananku. Itu memang wajahku, tapi wajah yang terpantul di cermin itu tampak tidak ramah dan jahat. Kemudian, di dalam mimpi itu aku melihat diriku turun ke lantai bawah. TV masih menyala, sedangkan Dad sedang tidur di sofa. Ruangan sepenuhnya gelap. Cahaya satu-satunya berasal dari layar TV yang masih menyala. Dengan kegembiraan yang tidak normal, aku menghujamkan pisau itu ke leher ayahku. Dad sontak terbangun dan menatapku dengan ngeri. lehernya robek dan itu membuat napasnya tersengal-sengal.

"J-Jane! A-apa y-yang kau l-lakukan?" tanyanya, suaranya pilu.

"Tenang, Dad," desahku. Aku memutar pisau itu perlahan, dan darah segar muncrat dari leher Dad. "Kau akan baik-baik saja." Aku berjanji. Aku mencabut pisau itu dari lehernya dan menusuk perutnya berulang kali hingga akhirnya ia tewas.

Dengan darah masih menetes-netes dari mata pisau, aku mendatangi kamar Mom dan Lilly. Mereka berdua sedang tertidur lelap, sepertinya tidak menyadari bahaya yang sedang mengintai mereka. Aku membunuh Mom terlebih dahulu. Aku merobek mulunya dan menikah matanya. Terakhir aku menggorok lehernya. Dan untuk Lilly yang terbangun, aku menusuknya tepat di jantungnya.

Aku bangun keesokan paginya dengan perasaan yang kacau balau. Kamaru tampak berantakan, bau amis menyeruak di udara dengan kaos dan tangan penuh darah kering yang membuatku tersentak kaget. Aku langsung bangun dan mendapati pisau itu ada di sampingku. Dengan pikiran agak linglung aku turun ke bawah dan mendapati Dad masih tertidur pulas. Ada lubang di lehernya dan di sekujur tubuhnya. Ketika aku mengecek kamar Mom, dia dan Lilly adikku juga masih tertidur pulas. Ada sayatan di leher Mom. Mulutnya robek dan mata kirinya nya berlubang. Sedangkan Lilly, dia yang terlihat tidur paling damai. Namun ada bekas tusukan di dadanya.
Melihat itu semua aku kembali ke kamarku dan melanjutkan tidurku. Sebelunya aku mengelap noda darah dari pisau kemudian meletakkannya di laci meja belajarku, kemudian tidur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar